Dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, pada 22 Juli 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota.Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Teman dekat Chairil Anwar semasa kecil, Sjamsulridwan, pernah menulis
di majalah Mimbar Indonesia, edisi Maret-April 1966. Katanya, salah satu
sikap Chairil yang menonjol sejak kecil adalah sifatnya yang pantang
kalah.
"Keinginan, hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya
selalu meluap-luap menyala-nyala, dan boleh dikatakan tidak pernah diam."
Menurut Sjamsulridwan, meski cukup terpandang dan disegani masyarakat
sekitarnya, kehidupan kedua orangtua Chairil senantiasa ribut. Mereka
sama-sama galak, sama-sama keras hati, dan sama-sama tidak mau mengalah.
Hanya dalam satu hal mereka sama: dua-duanya sangat memanjakan Chairil.
Segala keinginannya: mainan-mainan terbaru dan terbaik. Mereka pun selalu
membenarkan sikap Chairil. Kalau ia berkelahi, ayahnya senantiasa membela.
Bahkan kalau perlu ikut berkelahi.
Di luar rumah, Chairil tumbuh menjadi pemuda yang lincah dan penuh
percaya diri. Di samping karena kedudukan ayahnya, otak yang
tajam
dan cerdas serta sifatnya yang terbuka, tidak mengenal takut atau malu-malu,
membuat ia dikenal dan menjadi kesayangan banyak pihak, baik di kalangan
guru maupun di antara teman-temannya.
Di kalangan gadis-gadis, Chairil juga disukai karena wajahnya yang tampan
dan menyerupai orang indo.
Menurut dia, salah satu sifat Chairil
pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah
dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya.
Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya
selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain
bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui
kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua
itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Meskipun dia angkuh dan selalu merasa hebat, dia selalu mudah sekali
berkenalan dengan siapa saja, tanpa pernah membedakan status sosial, status
ekonomi, dan intelektualitas.
Masa kanak-kanak hingga masa remaja Chairil dihabiskan di Medan.
Di HIS (setingkat SD) saja ia sudah menampakkan bakatnya sebagai siswa
yang cerdas dan berbakat menulis. Lalu ia melanjutkan sekolahnya di MULO
(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP).
Ketika usia Chairil menginjak 19 tahun, dan duduk di kelas dua, ayahnya
kawin lagi dan bercerai dengan ibunya. Karena mulai membenci ayahnya dan
menginginkan kehidupan yang lain, ia memilih hijrah ke Batavia (Jakarta),
dan meneruskan pendidikannya di sana.
Tak lama kemudian ibunya menyusul ke Jakarta. Perang Dunia II
dan
masuknya Jepang telah membuat keadaan jadi tidak menentu. Chairil pun
terbelit masalah keuangan setelah tidak mendapat kiriman dari ayahnya.
Akhirnya ia putus sekolah. Saat putus sekolah itu Chairil mengisi hidupnya
dengan menggelandang ke sana-ke mari, dan membaca buku sebanyak-banyaknya.
Sebagai orang yang menguasai tiga bahasa (Inggris,Belanda, dan Jerman),
ia tidak mendapat halangan apa pun untuk bisa membaca dan memahami semua
karya sastra asing yang ia jumpai.
Penguasaan bahasa asing yang baik inilah yang banyak menolong Chairil
sehingga banyak buku yang belum dibaca seniman lain, ia sudah tahu
isinya. Ia pun banyak menyadur dan menerjemahkan karya-karya sastra dunia
itu ke bahasa Indonesia dengan baik.
Masih soal membaca, menurut Sjamsulridwan, ketika masih di MULO,
Chairil telah bergaul dengan anak-anak HBS (setingkat SMA) tanpa rendah
diri.
"Semua buku mereka aku baca," kata Chairil suatu hari. Di sini yang
dimaksud Chairil adalah buku-buku mengenai pelajaran abstrak, seperti sastra,
sejarah, ekonomi, dan lain-lain. Dan ucapan itu semata-mata untuk menunjukkan
bahwa ia tidak pernah kurang dari mereka (anak-anak HBS).
Selama di Jakarta, Chairil juga mengembangkan pengetahuannya dengan
meminjam buku dari pamannya, Sutan Sjahrir. Menurut H.B. Jassin, kalu sudah
membaca buku, maka buku itu akan dibacanya dari malam sampai menjelang
pagi.
Berikut ini tulisan tentang Chairi Anwar, yang sebagian besar
bahannya dicuplik dari buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arief
Budiman, ditambah beberapa referensi lain serta sejumlah wawancara.
"Di Jalan Juanda (Jakarta) dulu ada dua toko buku, yang sekarang
jadi kantor Astra. Namanya toko buku Kolf dan van Dorp. Koleksinya
luar biasa banyak.
Saya dan Chairil suka mencuri buku di situ," begitu Asrul Sani pernah
bercerita.
"Suatu kali kami melihat buku Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra.
`Wah, itu buku mutlak harus dibaca,' kata Chairil pada saya. `Kau perhatikan
orang itu, aku mau mengantongi Nietzsche ini.' Chairil memakai celana komprang
dengan dua saku lebar, cukup besar untuk menelan buku itu."
Buku-buku filsafat, termasuk buku Nietzsche tadi, diletakkan di antara
buku-buku agama.
Kebetulan buku Nietzsche ukuran dan warna sampulnya
yang hitam persis betul dengan kitab Injil. "Sementara Chairil
mengantongi buku, saya memperhatikan pelayan toko," kata Asrul. "Hati
saya deg-degan setengah mati.
Setelah buku berpindah tempat, kami lantas keluar dari toko dengan
tenang. Tapi sampai di luar tiba-tiba Chairil terkejut, `Kok ini? Wah,
salah
ambil aku!' sambil tangannya terus membolak-balik buku. Rupanya
Chairil salah mengambil Injil. Kami kecewa sekali."
Chairil Anwar memang seorang "penggila" buku, yang dengan rakus
melahap karya-karya W.H. Auden, Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre
Gide, Marie Rilke, Nitsche, H. Marsman, Edgar du Peroon, J. Slauerhoff,
dan banyak lagi.Tapi dia adalah penggila buku yang urakan, selalu kekurangan uang, tidak
punya pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, penyakitan, dan tingkah
lakunya menjengkelkan. Alhasil, lengkaplah "ciri-ciri" seniman pada
dirinya.
Namun, dia juga contoh yang baik tentang totalitas berkesenian dalam
dunia sastra Indonesia. Jika Sanusi Pane, Amir Hamzah, Rustam Effendi,
dan M. Yamin hanya menjadikan kegiatan menulis puisi sebagai kegiatan sampingan,
di samping tugas keseharian mereka sebagai redaktur sebuah surat kabar,
politikus, atau lainnya, ia semata-mata hidup untuk puisi dan dari puisi.
Nama Chairil mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun
1943. H.B. Jassin punya cerita. "Suatu hari di tahun 1943," tuturnya,
"Chairil datang ke redaksi Pandji Pustaka; seorang muda kurus pucat
tidak terurus kelihatannya.
Matanya merah, agak liar, tetapi selalu seperti berpikir. Gerak-geriknya
lambat seperti orang tak peduli. Ia datang membawa sajak-sajaknya untuk
dimuat di majalah Pandji Pustaka. Tapi didapatnya keterangan bahwa sajak-sajaknya
tidak mungkin dimuat. Kata pemimpin majalah itu, `Susunan Dunia Baru' (sajak
Chairil) tidak ada harganya. Sajak-sajak individualis lebih baik dimasukkan
saja dalam simpanan prive (privacy) sang pengarang. Kiasan-kiasannya terlalu
mem-Barat."
Sejak itu sang penyair sering terlihat di kantor Pusat Kebudayaan
(Keimin Bunka Shidoso), yang didirikan Jepang tahun 1943 di Jakarta,
dan diketuai sastrawan Armijn Pane. Di kalangan seniman waktu itu, ia mulai
sering disebut-sebut sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan-gagasan
baru di sekitar puisi.
Gaya bersajak dan elan vital dalam puisi-puisinya yang bercorak individualistis
dan mem-Barat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan
generasi sebelumnya
Bukan secara kebetulan agaknya jika sajak-sajak Chairil memiliki
nuansa individualistis yang kental. Pergumulan total Chairil dengan
kesenian agaknya telah menuntun sang penyair terjerembab dalam sebuah ritus
pencarian filosofis.
Semacam tertuntun pada sebuah kredo bahwa di dalam kesenian, berfilsafat
menjadi keniscayaan yang menusuk. Terutama karena berkesenian mengharuskan
sang seniman berhadapan dengan problem-problem tentang ketuhanan, kebebasan,
dan apa saja.
Buat kita sekarang, sosok Chairil sudah lekat dengan citra
kepenyairan Indonesia. Sejumlah larik puisi dari penyair kita ini telah
menjadi semacam pepatah atau kata-kata mutiara yang hidup di kalangan
masyarakat:
"Aku ini binatang jalang",
"Hidup hanya menunda kekalahan",
"Aku mau hidup seribu tahun lagi",
Dan masih banyak lagi atau
bertanyalah pada siswa SLTP dan SLTA siapa penyair kondang Indonesia, niscaya
mereka akan menyebut namanya, lengkap dengan beberapa judul syairnya.Tapi mungkin tidak banyak yang tahu, ada yang salah dalam persepsi kita
mengenai tokoh yang satu ini. Ada yang salah kaprah. Sebagai ilustrasi,
sajak "Aku" lebih sering dipahami banyak orang sebagai sajak pemberontakan
terhadap penjajahan. Padahal tidak. Kata Asrul Sani, sajak itu sebenarnya
tidak lebih dari "teriakan putus asa dan rasa getir", termasuk penolakan
terhadap sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya, yaitu ayahnya.
Sajak "Diponegoro" juga sering dikira sajak perjuangan.
Padahal, seperti pernah diulas Arief Budiman, sajak itu adalah cerminan
dari ekspresi kekaguman Chairil pada semangat hidup Pangeran Diponegoro,
di saat jiwanya amat diresahkan dengan kematian dan absurditas.
Ia menulis puisi pertamanya, "Nisan", pada Oktober 1942, ketika ia berusia
20 tahun, ketika teknik persajakan belum dikuasainya benar. Para
pengamat sastra menganggap sajak ini sebagai sajak tertuanya. Padahal,
menurut H.B. Jassin, sebelum "Nisan" Chairil sudah lebih dulu membuat sajak-sajak
corak Pujangga Baru, tapi karena tidak memuaskannya lalu dia buang.
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta.
Sajak "Nisan" ini, yang didedikasikan untuk neneknya yang baru meninggal,
merupakan renungan Chairil tentang kematian, yang di matanya teramat misterius,
namun tak terhindarkan oleh siapa pun.
Renungannya ini lalu menghantarkan ia pada pertanyan eksistensial: "Bila
manusia mati, lantas apa gunanya segala usaha yang dilakukan dalam hidup
ini?"
Pertanyaan filosofis itu terus mengejarnya, sementara kehidupan sendiri
tidak pernah memberinya jawaban yang memuaskan. Maka bukan hal yang
aneh, di saat batin kemanusiaannya begitu merindukan semangat menghadapi
hidup yang absurd dengan gagah berani, tiba-tiba Chairil mendapati sosok
legendaris Pangeran Diponegoro sebagai perwujudan yang konkret dari kegairahannya
mempertahankan hidup.
Inilah agaknya yang lalu mengilhaminya menulis sajak "Diponegoro", pada
Februari 1943. Meski sama-sama berbicara tentang kematian, sajak-sajak
yang ditulis Chairil menjelang akhir hayatnya lebih sublim dan intens.
Di samping teknik persajakan telah dikuasainya benar sehingga sajak-sajaknya
terasa jernih, penghayatannya terhadap kehidupan (dan kematian) yang menjadi
subjek puisi-puisinya juga telah mencapai klimaks kematangan sebagai seorang
penyair.
Sajak pertama yang ditulis Chairil pada 1949 (tahun kematiannya)
adalah "Chairil Muda, Mirat Muda", dengan tambahan judul kecil
"Di Pegunungan 1943".Sajak ini merupakan kenangan Chairil terhadap saat-saat yang paling
membahagiakan dalam hidupnya--sebuah perasaan yang wajar timbul pada
orang-orang yang menyongsong kematian. Di akhir sajak tersebut ia
sempat menulis kata mati. Namun berbeda dengan sajak-sajaknya yang
ditulis pada 1942, di mana kematian dipersoalkan dengan keterlibatan dan
perhatian yang penuh, di sajak ini kematian diucapkannya dengan cara yang
ringan saja.
Agaknya kematian bukan lagi sesuatu yang menjadi objek obsesinya, melainkan
sebagai kenyataan yang sederhana, sama sederhananya dengan udara di muka
bumi.
Dalam sajaknya "Yang Terampas dan yang Putus", juga ditulis pada 1949,
Chairil malah secara jelas menulis kesiapannya untuk menghadapi
kematian. Ia tiba-tiba menyadari bahwa impuls-impuls kehidupan
tidak pernah sepenuhnya diam.
Demikian pula dalam sajak "Derai-Derai Cemara", yang ia tulis sesudahnya.
Dalam sajak yang ia tulis setelah percakapan yang panjang dengan dua sahabatnya,
Rivai Apin dan Asrul Sani, Chairil kembali menegaskan bahwa kehidupan adalah
sebingkai misteri yang tidak bisa kita temui artinya, tapi pada saat yang
sama kita memiliki impuls untuk mempertahankannya.
Kita hidup, menurut Chairil, untuk sesuatu yang tidak kita ketahui maknanya.
Dan barangkali satu-satunya alasan untuk terus hidup adalah karena kita
sedang mencari maknanya.Namun misteri tetaplah sebuah misteri,ia tidak pernah akan bisa
terpecahkan. Karenanya mencari makna kehidupan adalah sesuatu yang
sia-sia, meski harus terus dilakukan. Maka bagi Chairil, "hidup hanya
menunda kekalahan/ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya
kita menyerah".
Penyair terbesar Chairil memiliki simpati yang sangat besar terhadap
upaya meraih kemerdekaan manusia, termasuk perjuangan bangsa Indonesia
untuk melepaskan diri dari penjajahan. Pada 1948, sebagai bukti perhatiannya
pada situasi sosial-politik waktu itu, ia menulis sajak
"Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers",
karya Archibald MacLeish.
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Syahrir.
Pada tahun yang sama, ia menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno",
yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus
mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Belakangan, sajak Chairil
yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak dipahami orang sebagai
sajak perjuangan. Padahal, sajak-sajak ini adalah
jenis sajak individu, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
perjuangan kemerdekaan karena ditulis pada 1943. Namun dalam sajak
"Aku" misalnya, di mana Chairil mengintroduksi dirinya sebagai "Aku binatang
jalang", ia bisa menjelmakan kata hati rakyat Indonesia yang ingin bebas.
Dalam analisis Agus R. Sardjono, penyair terkemuka Bandung, sajak-sajak
seperti "Krawang-Bekasi", "Persetujuan dengan Bung
Karno", "Aku", dan "Diponegoro" inilah yang justru di kemudian
hari membuat Chairil Anwar menjadi legenda dalam dunia kepenyairan Indonesia.
Hal itu dimungkinkan karena sajak-sajak ini bersifat sastra mimbar,
untuk menyebut jenis sajak-sajak yang bersifat sosiologis (yang berpretensi
untuk menjawab atau menanggapi fakta-fakta sosial), dan biasanya dibaca
dengan suara keras atau menyeru-nyeru, serta
dengan tangan terkepal.
Masih menurut Agus, nama Chairil mungkin tidak akan begitu populer seperti
sekarang bila dia hanya menciptakan sajak yang berjenis sastra kamar, sajak-sajak
yang kontemplatif dan personal. Betapapun tingginya mutu sajak "Derai-Derai
Cemara", "Senja di Pelabuhan Kecil", atau "Yang terampas dan yang Putus"
secara kesusastraan, namun sajak-sajak demikian sama sekali tidak memiliki
peluang untuk diapresiasi secara massal.Namun, dengan segala ketidaksempurnaannya, keberhasilan terbesar
Chairil bagi dunia persajakan Indonesia khususnya, dan bahasa Indonesia
pada umumnya, adalah kepeloporannya untuk membebaskan bahasa Indonesia
dari aturan-aturan lama (ejaan van Ophusyen) yang waktu itu cukup mengekang,
menjadi bahasa yang membuka kemungkinan-kemungkinan sebagai alat pernyataan
yang sempurna.
Chairil Anwar tampaknya memang ditakdirkan untuk menjadi penyair yang
disalahpahami. Tapi ia terbilang beruntung karena ia disalahpahami ke arah
yang positif. Begitupun dalam hal religiusitas. Tidak sedikit orang yang
menjulukinya penyair religius. Ini, antara lain, gara-gara sajak "Doa",
yang memang amat religius.
Tak jarang, dalam peringatan hari-hari besar agama Islam (juga
Kristen), sajak tersebut dibaca dan memperoleh apresiasi yang luas. Benarkah
ia penyair religius? Menurut penuturan Ida Rosihan Anwar (istri wartawan
kawakan Rosihan Anwar yang sangat dekat dengan Chairil) dalam
kesehariannya Chairil tidak pernah memperhatikan hal-hal yang berkaitan
dengan urusan agama. Ia tidak pernah tampak salat, berpuasa di bulan Ramadan,
atau bahkan ikut bergembira pada Idul Fitri. Jadi, ia bukan muslim yang
baik.
Namun, kalau kita mengacu pada kriteria filosof Paul Tillich tentang
siapa
yang disebut religius, (yaitu mereka yang secara serius mencoba mengerti
hidup ini secara lebih jauh dari batas-batas yang lahiriah saja), Chairil
termasuk kelompok ini.
Konklusi ini semata-mata bersandar pada penyerahan total Chairil untuk
menjawab pertanyaan "apa tujuan hidup saya", dalam sepanjang masa
hidupnya.Dan karena agama bagi banyak orang di dunia ini dianggap sebagaijawaban pertanyaan "apa tujuan hidup saya?", Chairil tidak luput
membicarakan agama dalam beberapa sajaknya. Sajak "Di Masjid", yang
ditulisnya pada 29 Mei 1943, adalah sajak pertama mengenai hal ini.
Dalam sajaknya ini ia menegaskan sikapnya yang tidak mau terikat
apa pun juga, serta bersedia menerima segala bentuk penderitaan sebagai
akibat pilihannya. Dia menolak untuk menyerah kepada agama, meskipun dia
mengakui juga, agama mempunyai daya tarik yang sangat kuat sehingga sulit
untuk melawannya: "Kuseru saja Dia/sehingga datang juga/Kamipun bermuka-muka/seterusnya
ia bernyala-nyala dalam dada/Segala daya memadamkannya/Ini ruang/gelanggang
kami berperang/Binasa membinasa/satu menista lain gila.
Sajaknya yang kedua tentang agama ditulis lima bulan kemudian, berjudul
"Isa". Dalam sajak ini, selain terpesona, Chairil juga tersindir dengan
pengorbanan dan penderitaan yang dialami Nabi Isa untuk menyelamatkan umat
manusia.
Ia merasa "minder" lantaran sikap hidupnya yang hanya memikirkan
kemerdekaan diri sendiri, dan tidak peduli pada orang lain. Ia seperti
dihadapkan pada pertanyaan, "Apakah sebuah pengorbanan ada artinya?"
Pertanyaan itu terus mengganggu hingga keesokan harinya dia menyerah
dan menulis sajak "Doa" sebagai ekspresi penyerahdiriannya kepada Tuhan.
Ia berseru: Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut nama-Mu/Biar susah
sungguh/mengingat Kau penuh seluruh/caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin
di malam sunyi/Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk/ Tuhanku/aku mengembara
di negeri asing/Tuhanku/di pintu-Mu mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.
Dalam sajak ini Chairil memang tidak menjelaskan apa alasan ia
"menyerah", namun yang pasti ia merasa hilang bentuk dan remuk ketika
dia berjalan tanpa Tuhan.
Apakah dengan sajak ini Chairil telah "menemukan kembali" Tuhan?
Jawaban sementara: "ya". Agaknya bila Chairil tiba pada suatu
titik kehidupan di mana dia mengambil suatu sikap secara lebih utuh, maka
perasaan tenang datang meneduhinya.
Pada Februari 1947, dalam suasana yang sudah berbeda, Chairil
kembali menulis sajak tentang agama, yang berjudul "Sorga". Di sini,
dengan semangat eksistensialismenya yang kental, ia menggugat surga
beserta gambarannya yang dijanjikan agama. Selanjutnya Chairil lebih memilih
menolak agama karena agama memintanya untuk mengorbankan apa yang nyata
sekarang, untuk digantikan sesuatu pada masa datang yang baginya belum
pasti.
Maka bisa dipastikan, sesudah sikapnya ini Chairil kembali menemukan
dirinya kesepian. Namun, perasaan itu tampaknya sudah dia harapkan
dan dia hadapi dengan tenang. Ia kembali memilih menjadi pengembara
selama hidupnya.
Meskipun, konon menurut kesaksian H.B. Jassin, menjelang mengembuskan
nafasnya yang terakhir, Chairil ternyata tetap tidak lupa menyebut
nama Tuhan.
Di sela-sela panas badannya yang tinggi sebelum kematiannya, ia mengucap,
Tuhanku, Tuhanku....
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri
Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang
dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam
puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah,
Meskipun menganut pola kehidupan yang bohemian, Chairil akhirnya sempat juga berkeluarga. Ia menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6Agustus 1946. Sayangnya rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Akhir
1948 mereka bercerai, dan putri tunggal mereka, Evawani Alissa, dibesarkan
Hapsah.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan
gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya
berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil
meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti,
TBC kronis dan sipilis.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu
meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah
dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh
di dalam menggeluti kesenian.Ia meninggalkan warisan karya yang tidak begitu banyak, yaitu 70
puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan
4
prosa terjemahan. Kepada Evawani, putrinya yang masih berumur satu
tahun, Chairil bahkan hanya mewariskan sebuah radio kecil, berbentuk kotak
warna hitam, bermerek Philips. Dan seperti memenuhi pesan profetik dalam
salah satu bait puisinya: "di karet, di karet sampai juga/deru angin",
Chairil dimakamkan di Pemakaman Karet pada hari berikutnya
Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani
Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat
mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini
saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil
Anwar.”
Ia meninggalkan warisan karya yang tidak begitu banyak, yaitu 70
puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan
4
prosa terjemahan. Kepada Evawani, putrinya yang masih berumur satu
tahun, Chairil bahkan hanya mewariskan sebuah radio kecil, berbentuk kotak
warna hitam, bermerek Philips. Dan seperti memenuhi pesan profetik dalam
salah satu bait puisinya: "di karet, di karet sampai juga/deru angin",
Chairil dimakamkan di Pemakaman Karet pada hari berikutnya.
Senin, 27 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Kalo melihat gambar di atas,,jadi inget temenku yang bersikeras pengen foto dengan gaya semirip Chairil Anwar:pegang rokok..,,hahay
Posting Komentar
Tinggalkanlah sedikit komentar..karena akan sangat berkesan bagi saya,